Seorang remaja, sebut saja Dila, mengatakan bahwa dirinya merasa lelah dan tidak bersemangat melakukan berbagai aktivitas. Hari-hari dilalui dengan perasaan datar, mengalir begitu saja, layaknya sungai yang tak ada kelokannya . #eeh
Ia mengaku tetap melakukan kegiatan rutin di rumah, belajar online, dan menuruti apa yang orangtua mau darinya. Semua berjalan baik-baik saja. Tapiii..... hatinya merasa hampa, sehampa udara di ruang angkasa. Senang, tapi tidak bisa tersenyum tulus dan tertawa lepas. Merasa sedih, tapi tidak tahu apa yang membuatnya sedih. Kondisi seperti itu membuatnya bingung dengan dirinya sendiri. Mau marah, tetapi tidak tahu harus marah kepada siapa dan dengan alasan apa.
Eeehm....... adakah yang pernah berada dalam situasi seperti Dila?
Tentunya, keadaan demikian membuat tidak nyaman dan juga membingungkan. Apa yang sebenarnya terjadi pada Dila? Umumnya, remaja seumurannya sedang dalam masa yang penuh gairah. Antusias mencoba banyak hal dan mengalami banyak rasa yang membuat hidupnya lebih berwarna.
Setelah mendengarkan banyak kisah darinya, pertanyaan ini pun saya ajukan. Apa sih yang kamu inginkan sekarang? Dila menjawab singkat, "Aku hanya ingin bahagia."
Gambar oleh Clker-Free-Vector-Images dari Pixabay
Sahabat remaja, setiap orang berhak merasa bahagia. Siapapun itu. Bahagia bukan hanya milik orang dewasa atau anak kecil. Bahagia bisa dimiliki dan dirasakan oleh siapa saja. Termasuk kalian, para remaja.
Demikian juga yang dikatakan eyang Leo Tolstoy: If you want to be happy, be. "Jika kau ingin menjadi bahagia, jadilah (bahagia)". Tak ada yang melarang kita untuk menjadi bahagia dan tak ada seorang pun yang dapat melarangnya. Kebahagiaan adalah hak setiap pribadi dan tidak dapat dirampas oleh siapapun juga.
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana sebenarnya kebahagiaan itu diraih? Apa yang dapat membuat kita merasa bahagia?
Menurut Anand Krishna, kebahagiaan itu sudah ada di dalam diri kita sebagai manusia, sejak lahir. Jadi, untuk merasa bahagia, sejatinya tidak membutuhkan apapun dari luar diri kita. Cukup menerima, mengenali dan menghargai diri sendiri. Sepenuhnya dan apa adanya.
Demikian pula yang dikatakan oleh Hellen Keller: Happiness cannot come from without. It must come from within. "Kebahagiaan tidak datang dari luar diri. Ia berasal dari dalam diri".
Banyak orang mengira ia akan bahagia jika sudah mencapai kesuksesan yang diinginkan. Punya banyak uang, rumah mewah, punya mobil, punya prestasi yang tinggi, dan sejumlah kondisi atau capaian lain yang biasanya disematkan dalam kalimat, "aku bahagia kalau......" .
Namun, ternyata tidak sedikit yang sudah mencapai apa yang diinginkan itu dan tetap tidak berbahagia. Semua yang berasal dari luar merupakan materi yang tidak serta merta mendatangkan kebahagiaan, bahkan mungkin sama sekali tidak menghadirkan rasa bahagia. Kok bisa begitu?? Karena uang dan benda-benda atau segala materi di luar diri kita, hanya dapat "menambah" kenikmatan dan kenyamanan hidup, tapi belum tentu membahagiakan. Demikian penjelasan Anand Krishna dalam bukunya Be Happy.
Bagaimana dengan harapan yang satu ini, "Aku ingin membahagiakan orang tuaku. Jika mereka bahagia, aku akan bahagia". Akankah kebahagiaannya menjadi lebih mudah dicapai?
Tampaknya hal itu pun membuat bahagia seakan semakin sulit untuk dirasakan. Karena kita tak bisa memberikan sesuatu yang belum dimiliki. Jika diri sendiri belum merasa bahagia, bagaimana bisa memberikan kebahagiaan kepada orang lain? Bukankah kita hanya bisa memberikan sesuatu yang kita miliki?
Duuuuuuh, kalau begitu, gimana dong biar bisa bahagia??
Sahabat remaja, kebahagiaan adalah milik orang yang merasa diri kecukupan. Begitu ungkap Aristoteles. Kecukupan artinya kita mampu berpuas diri dengan apa yang dimiliki. Puas dengan diri sendiri, tidak banyak mengeluh, tidak mudah mengaduh, dan tidak terlalu banyak berandai-andai.
Tentu berpuas diri disini bukanlah berpuas diri yang pasif dan membuat malas. Tetapi kepuasan yang datang dari usaha dan kerja keras, dari pemikiran yang baik, dan sikap menerima apa yang didapat atas jerih payahnya.
Saat mengusahakan sesuatu, lakukan karena memang ingin melakukannya dan itu baik untukmu. Bukan karena rasa iri dan cemburu atas kondisi atau capaian orang lain yang tampak lebih baik, lebih sukses, dan memiliki hal yang tidak kau miliki. Jangan jadikan rasa iri dan cemburu itu sebagai motivasi bagimu berusaha lebih keras, karena keduanya memiliki energi yang tidak baik, yang justru dapat merusak pikiran dan tubuhmu. Saat berhasil mencapainya, kebahagiaan yang didambakan pun tak kunjung dirasakan.
Merujuk dari apa yang disampaikan filsuf diatas, maka berikut hal-hal yang perlu dilakukan agar kita merasakan kebahagiaan yang sejati:
Nah, sahabat remaja, ternyata untuk menjadi bahagia tak harus memiliki segalanya ya. Semua bermula dari dalam diri. Bahagia itu pilihan. Bukan bergantung pada orang lain, benda, posisi, atau kekayaan. Jadilah dirimu sendiri, syukuri apa yang telah kau miliki, hargai setiap usaha yang telah dilakukan. Saat engkau memiliki harga diri yang baik, dirimu akan mudah merasakan kebahagiaan di dalam hatimu. Setiap saat, kapan pun engkau mau, di sepanjang kehidupanmu. Be happy gaess...... !!
Referensi:
Burnett, D. (2019). The Happy Brain. Tangerang: Penerbit Gemilang.
Krishna, A. (2008). Be Happy. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Relawan Psikolog Masuk Sekolah Berkontribusi dalam Layanan Helpline #Bersamamu 2024
Laporan Tahun 2022: Memperluas Dampak, Memperkuat Pendampingan
Laporan Tahun 2021: Awal Langkah Mendampingi Remaja di Tengah Pandemi
Jatuh-Bangkit Seperti Bola Bekel
Kamu Tim Growth Mindset atau Fixed Mindset?
Remaja Juga Bisa
Toxic Relationship VS Healthy Relationship
Kenapa Belajar Perlu Motivasi?
Apa Itu Toxic Relationship?
BERJUANG MERAIH MIMPI
Menjadi Kreatif, Kenapa Nggak?
Tumbuh berkembang bersama sahabat
@PSIMAS, 2020. ALL RIGHTS RESERVED